Kamis, 01 Juli 2010

Perang Kedongdong

Syahdan, karena menolak tunduk terhadap tekanan pemerintah kolonial Belanda, Pangeran Raja Kanoman memilih melepaskan takhta kesultanan. Haknya sebagai sultan dilepas begitu saja. Putra mahkota Sultan Kanoman IV itu keluar dari keraton, lalu bergabung dengan rakyat Cirebon yang menentang Belanda.

Alhasil, perlawanan rakyat Cirebon dalam menolak pajak paksa yang diterapkan Belanda kian sengit. Di sana-sini terjadi pemberontakan. Belanda kewalahan menghadapinya dan mengalami kerugian yang sangat besar. Secara materiil, sedikitnya Belanda menderita kerugian 150.000,00 Gulden. Ribuan prajuritnya pun tewas.

Untuk meredam pemberontakan itu, Belanda sampai harus menjalin aliansi militer strategis dengan Portugis. Ribuan prajurit Belanda dan Portugis tambahan didatangkan.Mereka diangkut dengan menggunakan enam kapal perang besar dan mendarat di Pelabuhan Muara Jati, Cirebon.

Kedatangan ribuan prajurit tambahan itu, tidak membuat rakyat Cirebon gentar. Pangeran Raja Kanoman itu justru makin menggencarkan perlawanan. Salah satu perang besar sekaligus monumental ialah Perang Kedondong, terjadi si salah satu daerah di Kecamatan Susukan, di perbatasan Kabupaten Cirebon-Indramayu. Ribuan korban jatuh dari kedua belah pihak. Dari pihak rakyat, perang itu dipimpin oleh Raden Bagus Serangin.

Kecamuk Perang Kedondong, bahkan ditulis dengan gaya naratif-deskriptif oleh prajurit Belanda bernama Van Der Kamp. Buku Van Der Kamp itu, bahkan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ejaan lama 1952. Naskah aslinya ditulis dalam bahasa Belanda dan tersimpan rapi di perpustakaan di Negeri Kincir Angin itu.

Dalam pemberontakan itu, melalui siasat licik Belanda, Pangeran Raja Kanoman tertangkap. Setelah sempat ditahan di benteng Belanda di Batavia (Jakarta), sultan pemberani itu kemudian ditahan di benteng Viktoria, di Ambon, Maluku. Sebelum dibuang ke Ambon, Belanda telah melucuti seluruh gelar darah birunya. Putra mahkota itu dicabut haknya atas takhta sultan di Keraton Kanoman.

Sebagai gantinya, diangkatlah adik Pangeran Raja Kanoman yang kemudian menjadi Sultan Kanoman V, bergelar Sultan Muhammad Iman Udin. Peristiwa bersejarah itu terjadi dalam rentang waktu 1793-1808 masehi, tujuh belas tahun sebelum pecah Perang Diponegoro yang oleh Belanda, disebut sebagai Perang Jawa.

"Perang Diponegoro itu dipicu persoalan pribadi, karena Belanda memasang patok di makam raja-raja Mataram. Kalau pemberontakan rakyat Cirebon yang melibatkan Pangeran Raja Kanoman, itu murni perlawanan rakyat terhadap penindasan Belanda. Putra mahkota itu menolak menjadi sultan, karena tidak mau tunduk kepada Belanda yang menarik pajak paksa kepada rakyat Cirebon. Akan tetapi, kenapa yang tercatat dalam sejarah nasional, hanya Perang Diponegoro? Perang Cirebon seolah-olah hanya menjadi sejarah lokal," kata Dadang Kusnandar, budayawan dan pemerhati sejarah Cirebon.

**

Berdasarkan catatan sejarah Keraton Kacirebonan, meski Pangeran Raja Kanoman dibuang ke Ambon, perlawanan rakyat Cirebon justru kian menjadi-jadi. Setiap hari selalu ada penyerangan terhadap prajurit maupun pembakaran rumah-rumah dan bangunan, yang menjadi simbol kekuasaan Belanda di Kota Cirebon.

Belanda makin kewalahan. Para petinggi Belanda memerintahkan agar Pangeran Raja Kanoman dikembalikan ke Cirebon. Melalui para pimpinan pemberontak, Belanda meminta syarat: bila Pangeran Raja Kanoman dikembalikan, pemberontakan dihentikan. Sebagai jalan tengah, status darah biru Pangeran Raja Kanoman dikembalikan. Kendati demikian, dia tak berhak atas kesultanan di Keraton Kanoman.

Belanda memang menepati janjinya. Hak darah biru Pangeran Raja Kanoman dipulihkan. Hanya, putra mahkota itu diminta membuat keraton baru dan kasultanan baru, yang bukan di Keraton Kanoman. Pada 1808, Pangeran Raja Kanoman memilih tinggal di kompleks Gua Sunyaragi di daerah Sentul (kini Jln. By Pass Brigjen Dharsono). Pangeran itu kemudian bergelar Sultan Amiril Mukminin Muhammad Khaerudin atau sering disebut sebagai Sultan Carbon.

Meski menjadi raja, Sultan Carbon tidak pernah memiliki keraton. Dia hidup sederhana bersama istrinya, Ratu Raja Resminingpuri. Sikap tegasnya tetap berlaku, dengan menolak uang pensiun dan seluruh pemberian dari Belanda. Pada 1814, Sultan Carbon mangkat.

Karena putra lelakinya masih berusia lima tahun, bernama Pangeran Raja Madenda, Kesultanan Carbon diwakili (volmak) janda Sultan Carbon, Ratu Raja Resminingpuri. Pada saat itulah, Ratu Raja membangun Keraton Kacirebonan di Pulosaren, tak jauh dari Keraton Kasepuhan dan Kanoman, dengan memanfaatkan uang pensiunan dari Belanda yang selama menjadi Sultan Carbon selalu ditampiknya. Setelah besar, mahkota diserahkan kepada putranya yang bergelar Pangeran Raja Madenda I.

"Belanda menolak gelar sultan pada ahli waris Sultan Carbon. Ini berbeda dengan Keraton Kasepuhan dan Kanoman, yang rajanya diperbolehkan bergelar Sultan," kata Elang Heri Komarahadi, kerabat Keraton Kacirebonan yang kini menjadi Ketua "Sekar Pandan", sanggar seni tradisional di areal keraton.

**

PADA 1960, setelah Indonesia merdeka, raja di Keraton Kacirebonan kembali bergelar sultan. Ketika itu, keraton dipimpin Sultan Karta Natadiningrat, lalu putranya Sultan Amir Natadiningrat. Dan, sejak 1997 sampai sekarang, keraton dipegang oleh Sultan Abdul Gani Natadiningrat.

"Kalau melihat sejarahnya, Keraton Kacirebonan sebenarnya bukti dan simbol perlawanan terhadap Belanda. Sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara malah menyebut bahwa pemberontakan Cirebon itu merupakan pemberontakan santri pertama di tanah Jawa. Bisa jadi, itu menjadi inspirasi bagi Pangeran Diponegoro untuk bangkit melawan Belanda," ujar Dadang Kusnandar.

Sampai sekarang, Keraton Kacirebonan menjadi simbol sejarah bahwa rakyat dan raja Cirebon juga memiliki rasa nasionalisme tinggi. Perjuangan mereka tak kalah heroik dengan rakyat Banten dan Sultan Ageng Tirtayasa yang menolak Belanda, termasuk Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro pada 1825-1830.

Oleh karena itu, menurut Dadang, sudah saatnya peristiwa-peristiwa bersejarah di Cirebon itu diapresiasi dan ditulis secara lebih komprehensif di buku-buku sejarah nasional. "Bila perlu, Pangeran Raja Kanoman, Raden Bagus Serangin, dan dua saudaranya yang memimpin perang Kedondong dijadikan pahlawan setingkat Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, Pattimura, dan Pangeran Antasari, "ujar Dadang Kusnandar.

Ia pun berharap Pemerintah Kota dan Kabupaten Cirebon, memberi penghormatan kepada mereka. Misalnya dengan menjadikannya sebagai nama jalan atau nama-nama tempat strategis yang menjadi ikon Cirebon



Tulisane Kang Dadang/Lingkar Budaya Cerbon.





Rabu, 19 Mei 2010

Cirebon Islam

Banyak tulisan yang mengulas bahwa Kesultanan Cirebon adalah enititas Kerajaan Islam yang berkuasa pada abad ke 15 hingga abad ke 16 M. Kesultanan Cirebon terletak di pantai utara pulau jawa. Saat ini berada pada perbatasan jawa tengah dengan jawa barat membuat kesultanan Cirebon menjadi “jembatan” antara kebudayaan jawa dan Sunda. Sehingga, di Cirebon tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi oleh kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.

Mungkin ada benarnya tulisan tersebut jika budaya Sunda diukur pada pasca kekuasaan Islam di Cirebon, dan Cirebon memiliki hubungan yang erat dengan Demak, namun menjadi aneh ketika sejarah Cirebon dijadikan alat amputasi untuk menunjukan wilayah kebudayaan Sunda. Hal ini akan sama hal nya dengan peristiwa pemisahan budaya Sunda dengan Galuh pasca Galuh memerdekakan diri sampai dengan abad ke 16.
Dilihat dari kesejarahan Sunda, batas wilayah dan budaya Sunda akan sangat jelas dalam catatan lain tentang tungtung sunda :

Pertama, berdasarkan Naskah Bujangga Manik, yang mencatat perjalanannya pada abad ke-16, mengunjungi tempat-tempat suci di Pulau Jawa dan Bali, naskah tersebut diakui sebagai naskah primer, saat ini disimpan di Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627, batas kerajaan Sunda di sebelah timur adalah sungai Cipamali (sering disebut kali Brebes) dan sungai Ciserayu (sering disebut Kali Serayu) Jawa Tengah. Sering juga disebut Tungtung Sunda.

Kedua, menurut Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, Summa Oriental menyebutkan batas wilayah kerajaan Sunda : ada juga yang menegaskan, kerajaan Sunda meliputi setengah pulau Jawa. Sebagian orang lainnya berkata bahwa kerajaan Sunda mencakup sepertiga pulau Jawa ditambah seperdelapannya lagi. Keliling pulau Sunda tiga ratus legoa. Ujungnya adalah Cimanuk.

Ketiga, wilayah sunda warisan Tarumanagara tentunya seluas Tarumanagara itu sendiri. Ketika Sang Purnawarman wafat, Tarumanegara membawahi 46 kerajaan daerah. Jika dibentang kan dalam peta daerah tersebut meliputi Banten hingga Kali Serayu dan Kali Brebes Jawa Tengah. Paska pemisahan Galuh secara praktis kerajaan Sunda terbagi dua, sebelah barat Sungai Citarum dikuasai Sunda (Terusbawa) dan sebelah Sungai Citarum bagian timur dikuasai Galuh (Wretikandayun)Cirebon tidak dapat dipisahkan dari entitas kerajaan yang berada di wilayah baratnya, baik pada masa pra islam maupun masa sesudahnya.

Cirebon pada masa islam awalnya sebuah dukuh kecil yang dibangun Ki Gedeng Tapa. Cerita ini mendasarkan pada serat Sulendraningrat yang merujuk pada naskah Babad Tanah Sunda. Cirebon berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama caruban. Konon nama ini merujuk pada kondisi penduduk yang bercampur dengan para pendatang dari beraneka bangsa, agama, bahasa, dan adat istiadat.

Dalam perkembangan selanjutnya, kisah masyarakat dan budaya Cirebon mengalami kondisi yang sama seperti pertumbuhan kota Jakarta, sebelumnya bernama Kalapa yang berada di wilayah Sunda. Namun pasca masuknya islam dan dijadikannya sentra perdagangan lambat laun dianggap memiliki entitas tersendiri, lepas dari masyarakat Sunda. Mungkin menjadi sulit menelusuri awal sejarahnya yang hakiki, namun hal ini dapat diurai secara baik jika para sejarawan dapat melepaskan diri dari syak tentang awal pertumbuhannya.

Dalam kisah lain diceritakan bahwa Ki gedeng Tapa, seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, membuka hutan dan membangun sebuah gubuk. :Saat itu bertepatan pada tanggal 1 Sura 1358 (tahun jawa) atau pada tahun 1445 M. Sejak saat itu, mulailah para pendatang menetap dan membentuk masyarakat baru di desa caruban. Kuwu atau kepala desa pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai pangraksabumi diangkatlah raden Walangsungsang, dengan gelara Ki Cakrabumi. Ia adalah putra Sri Baduga (Pamanah Rasa) dari Subanglarang, putri Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang meninggal walangsungsang diangkat sebagai Kuwu pengganti ki Gedeng Alang-alang dengan gelar pangeran Cakrabuana.

Pasca wafatnya Ki Gedeng Tapa, pangeran cakrabuana tidak meneruskannya disana, melainkan mendirikan istana Pakungwati, dan membentuk pemerintahan cirebon. Dengan demikian yang dianggap sebagai pendiri pertama kesultanan Cirebon adalah pangeran Cakrabuana.

Seusai menunaikan ibadah haji, cakrabuana disebut Haji Abdullah Iman, dan tampil sebagai raja Cirebon pertama yang memerintah istana pakungwati, serta aktif menyebarkan islam.Pada tahun 1479 M, kedudukan Cakrabuana digantikan oleh keponakannya, putra adik cakrabuana, yakni Nyai Rarasantang, dengan Syarif Abdullah dari Mesir. Keponakan Cakrabuana itulah yang bernama Syarif Hidayatullah (1448 – 1568 M). Setelah wafat, Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama sunan Gunung Jati.

Syarif Hidayatullah kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti kesultanan Cirebon dan Banten, serta menyebarkan islam di majalengka, Kuningan, kawali Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten. Syarif Hidayatullah pun dikenal sebagai salah satu Wali Sembilan (Songo).

Kisah Syarif Hidayatullah diyakini pula sebagai pendiri Cirebon, sebagaimana saat ini ada dua versi yang berbeda, tentang hari jadi Cirebon. Ada versi yang merujuk pada saat Cirebon menyatakan sebagai negara Mahardika dari Pajajaran sebagai hari jadi Cirebon dan ada pula yang mengambil dari perjalanan Cakrabuana pertama membuka wilayah Cirebon.

Mitos lainnya dimasyarakat ada yang beranggapan bahwa Cirebon lebih tua dari Banten. Hal ini bukan karena tidak diketahuinya latak Salakanagara di Banten secara pasti, melainkan ada kaitannya dengan kisah ekspansi Cirebon ke Banten pada jaman Hasanudin yang dibantu ayahnya, yakni Syarif Hidayattullah, sehingga Cirebon dianggap sebagai pendiri Banten (islam).

Cirebon makin berkembang pasca runtuhnya kerajaan-kerajaan non islam di wilayah Jawa Barat. Pada masa tersebut bisa dikatakan Cirebon sebagai puseur kekuasaan. Namun banyak pula yang akhirnya ditafsirkan berbeda, seperti memisahkan Cirebon dari entitas masyarakat sebelumnya. Padahal sejak jaman kerajaan awal (Tarumanaga), Cirebon berada di wilayahnya.

Pusat Agama Islam


Ketika Hajjah Syarifah Muda’im (Rara Santang) kembali ke Cirebon, ia disertai suaminya (Syarif Abdullah) dan puteranya Syarif Hidayatullah. Mereka tinggal dan menetap di Cirebon.

Syarif Hidayat di Cirebon menjadi guru agama Islam menggantikan Syekh Datuk Kahfi yang telah wafat. Kemudian Walangsungsang menobatkan keponakannya tersebut menjadi Tumenggung di Cirebon. Menurut Yoseph Iskandar : “Pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 (antara Maret – April 1482), Syarif Hidayat menjadi Raja Cirebon dengan Gelar Susuhunan Jati”.

Syarif Hidayatullah (1448-1568) setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai ''Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah''.

Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah pada masa Syarif Hidayat, terutama ketika dilihat dari hubungan antar Keraton islam di Pulau Jawa.

Kekerabatan Keraton
Hubungan dengan Demak diwarnai dengan pernikahan putra putri kedua negara tersebut. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan didalam buku Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat dan Sejarah Jawa Barat (Yoseph Iskandar), sebagai berikut : (1) Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana. (2) Pangeran Jaya dengan Ratu Ayu Pembayun (3) Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan atau Ratu Nyawa, putra dari Raden Patah. (4) Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor (Sultan Demak II).

Hubungan dengan Banten misalnya, Panembahan Hasanudian adalah putra terkasih dari Syarif Hidayat dari Nyi Kawunganten (Banten), bahkan Syarif Hidayat merupakan kreator penting dari direbutnya Banten melalui tahap menjadikan terlebih dahulu sebagai Kabupaten dari Cirebon. Untuk kemudian pasca meninggalnya Syarif Hidayat, Banten menjadi negara yang berdaulat penuh, sejajar dengan Cirebon.

Pangeran Jaya Kelana dan Pangeran Bratakelana adalah putera Syarif Hidayat dari Syarifah Bagdad atau Syarifah Fatimah (putri dari Syekh Datuk Kahfi dari Hadijah), atau adik dari Syekh Abdurahman (Pangeran Panjunan). Pasca gugurnya Pangeran Bratakelana melawan bajak laut maka Ratu Nyawa menjadi istri Pangeran Muhamad Arifin (Pangeran Pasarean – Adipati Carbon I) kemudian gugur dalam peristiwa huru hara di Demak, ia terbuhun oleh Arya Penangsang, bupati Jipang. Untuk kemudian Arya Panangsang terbunuh pula oleh Sultan Hadiwijaya.

Menurut Sulendraningrat : “Tradisi perkawinan ini dimaksudkan untuk menjalin persahabatan abadi tanpa memperhatikan sikap serta ambisi pribadi manusia-manusia”. Dalam pembahasan yang sama, Sulendra menjelaskan pula : “sistim perkawinan ini dimanfaat oleh Mataram untuk melancarkan “unjuk gigi”, bahwa Mataram lebih berkuasa. Gejala ini nampak sejak Mas Rangsang Sultan Agung Mataram dengan Nyi Ratu Mas Ayu Sakluh, kakak perempuan Panembahan Ratu”. Demikian pula Amangkurat I, yang menikahkan putrinya dengan Pangeran Girilaya, Amangkurat I “senantiasa ingin merebut Cirebon”. Hal inilah yang menyebabkan banyak pengamat yang menyatakan bahwa Cirebon vazzal Mataram. Padahal secara formal tidak terjadi.

Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.

Penyebaran agama islam ke daerah Kuningan atas jasa Syeh Maulana Akbar alias Syeh Bayanullah (adik Syeh Datik Kahfi), yang mendirikan pesantren di Sidapurna Kuningan. Syeh Bayanullah menikahi Nyi Wandasari putri dari Surayana putra Dewa Niskala. Dari perkawinan ini Syeh Bayanullah memperoleh putra yang kelak dikenal dengan nama Maulana Arifin, kemudian menikah dengan Rau Selawati cucu Sri Baduga.

Perjanjian dan Perang
Kekuatan dari ikatan kekeluargaan serta adanya dukungan Demak menginspirasi para Wali untuk mendorong Syarif Hidayat menjadikan sebagai pusat kekuatan agama Islam yang merdeka, sebelumya dibawah Galuh. Kemudian pada tanggal 12 bulan Caitra tahun 1404 Saka, atau bertepatan dengan bulan April 1482 M, Syarif Hidayat menjadi raja Cirebon dengan gelar Susuhanan Jati.

Pernyataan Syarif Hidayat memancing kemarahan Sri Baduga. Untuk kemudian Sri Baduga mengutus Tumenggung Jagabaya untuk menertibkan Cirebon, namun pasukan Tumenggung Jagabaya disergap oleh pasukan gabungan Demak Cirebon di Gunung Sembung. Konon kabar Jagabaya bersama pasukannya kemudian masuk islam.

Sri Baduga kemudian mempersiapkan pasukannya yang lebih besar untuk menyerang Cirebon, namun berhasil dicegah oleh purohita (pendeta tertinggi di keraton), dengan pertimbangan tidak baik jika seorang Sri Baduga menyerang anak (walangsungsang) dan cucunya (Syarif Hidayat). Cirebon akhirnya menjadi negara Merdeka.

Perlakuan Sri Baduga sebelumnya yang merestui Walangsungsang untuk menjadi raja di Cirebon dan memberinya gelar Sri Mangana sangat berlainan dengan peristiwa ini. Hal demikian konon kabar adanya kekhawtiran Sri Baduga tentang eratnya hubungan Cirebon dengan Demak. Sebagaimana dengan adanya ikatan 4 orang keturunannya dengan putra-putri Demak. Disamping itu Demak pun menghadirkan armadanya di Cirebon.

Kekhawatiran Sri Baduga mungkin sangat masuk akal. Pertama, suatu rahasia umum jika Pajajaran sangat lemah di laut namun kuat didarat sehingga jika terjadi peperangan pasukan Demak dapat menyerang dari arah laut dengan kekuatan meriamnya. Disatu sisi, satu hal yang tidak mungkin jika Pajajaran langsung menyerang Demak dengan tanpa adanya suatu sebab perseteruan langsung.

Kedua, kiranya perlu ada kajian yang lebih dalam tentang ini. Apakah kekhawatiran Sri Baduga memang untuk kepentingan penyebaran agama atau masalah politik perdagangan. Mengingat jika menyangkut masalah perkembangan agama islam, justru telah terjadi sejak jaman Sang Bunisora – buyut Sri Baduga dan tidak pernah terjadi benturan. Hal ini dibuktikan dengan masuknya Haji Purwa Galuh, putra dari Sang Bunisora menjadi penganut islam dan Haji pertama di tatar Sunda. Selain itu, Sri Baduga pun tidak melarang Walangsung dan Rarasantang, putra putrinya memeluk agama islam.

Pasca wafatnya Sri Baduga hubungan Cirebon – Pajajaran makin memanas, tak kurang dari lima belas kali (Carita Parahyangan) dalam waktu lima tahun peperangan terjadi di front barat. Sementara di front timur penguasa Galuh mulai ikut campur untuk mengembalikan Cirebon sebagai bagian dari negaranya. Ketika masa persiapan penyerangan ini Pangeran Walangsungsang wafat, sehingga penyerangan ke Galuh menjadi terhambat.

Penyerangan ke Talaga kemudian terlaksana satu tahun setelahnya. Talaga merupakan benteng akhir dari kekuasaan Galuh di wilayah timur Citarum. Dengan demikian pada tahun 1528 M praktis Galuh dikuasai Cirebon. Namun patut dicermati, peperangan ini terjadi antara satu keturunan yang sama, asli teureuh sunda – Galuh. Ibunda penguasa Galuh, Mayangsari masih keturunan Dewa Niskala, sedangkan Sayrif Hidayat terhitung buyut dari Dewa Niskala. Hanya saja dalam pertempuran itu, pasukan Cirebon banyak dibantu pasukan Demak yang telah memiliki senajat Meriam, pada waktu itu disebut pada berapi.

Dengan dikuasainya wilayah Galuh sudah cukup bagi Syarif Hidayat menghentikan serangannya ke Pakuan, bahkan batas kekuasaan Cirebon sudah mendekati Citarum.

Menurut Yoseph Iskandar : “Kemenangan Cirebon di wilayah timur telah memperluas kekuasaan Sunan Jati. Sumedang masuk dalam wilayah kekuasaan Cirebon, ditempuh dengan jalan perkawinan kerabat Keraton Cirebon dengan Sumedanglarang. Sebagai tanda kekerabatan, Pangeran Santri (Ki Gedeng Sumedang) berjodoh dengan Ratu Satyasih, penguasa Sumedang Larang yang bergelar Pucuk Umum Sumedanglarang, ia pun putra dari Pengeran Muhamad (Pangeran Palakaran) cucu dari Pangeran Panjunan Cirebon”.

Pengaruh keruntuhan Galuh akibat salah perhitungan Prabu Jayaningrat menginspirasi Prabu Wisesa (Pakwan) untuk mengukuhkan – mempertahankan wilayah yang tersisa. Disatu sisi Susuhunan Jati sudah cukup puas dengan wilayah yang ada saat ini, maka Kemudian Prabu Surawisesa mengirimkan utusan ke Cirebon untuk melakukan perdamaian. Hal ini pun disambut baik oleh Susuhunan Jati.

Yoseph Iskandar didalam buku yang sama menjelaskan, bahwa : “pada tanggal 14 paro terang bulan Asadha tahun 1453 Saka atau 12 Juni 1531 M, perjanjian damai disepakati :
(1) kedua belah pihak saling mengakui kedaulatan masing-masing, tidak saling menyerang, silih asih ; dan
(2) kedua belah pihak mengakui sederajat dan bersaudara sebagai sesama ahli waris Sri Baduga Maharaja, janganlah putus.

Menurut Carita Parahyangan (Kropak 406) dijelaskan mengenai Surawisesa, yakni: Kadiran, kasuran, kuwanen, prangrang limawelas kali henteu eleh (Perwira, perkasa, pemberani, perang lima belas kali tidak pernah kalah)”.

Perjanjian tersebut dari pihak Cirebon terlibat juga para endoser perjanjian, yakni Syarif Hidayat, Fadillah Khan, Panembahan Hasanudin dan Panembahan Yusuf (Banten).

Perjanjian tersebut rupanya tidak dapat bertahan selamanya, pasca meninggalnya para penandatanganan perjanjian dan Prabu Surawisesa, kemudian Panembahan Yusuf (Banten) tergoda untuk menaklukan Pajajaran, sekalipun telah beberapa kali ia lakukan namun tak pernah membuahkan hasil. Maka pada tahun kesembilan masa pemerintahannya ia menyerang Pakuan dengan mengerahkan pasukan gabungan Banten – Cirebon. Itupun berhasill mendobrak benteng Pakuan setelah ada bantuan dari prajurit Pajajaran yang berkhianat dengan cara membuka gerbang dari dalam.

Menurut Pustaka Nusantara III/I dan Pustaka Kertabhumi : Pajajaran Sirna Ing Bhumi ing ekadacaicuklapaksa wesakhamasa sahasra limangatus punjul siki ikang cakakala (tanggal 11 bagian terang bulan wesaka tahun 1501), bertepatan dengan 8 Mei 1579 M atau 11 Tabiul awal 987 H.


Bahan Bacaan :

1.Tokoh Pangeran Wangsakerta Menurut Tradisi Cirebon, Pangeran Sulaeman Sulendraningrat, dalam buku Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta – Pustaka Jaya, Bandung – 2005.
2. http:/id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Cirebon
3. rintisan penelusuran masa silam Sejarah Jawa Barat, proyek penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat – Tjetjep Permana, SH dkk. 1983 – 1984.
4. Sejarah Jawa Barat, Yoseph Iskandar, Geger Sunten – 2005.

di posting dari sumber :http://akibalangantrang.blospot.com

Cirebon Girang

Eksistensi Cirebon Girang didalam buku “Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat” diceritakan mulai dikenal sejak abad ke 15 M. Keberadaannnya tidak dapat dilepaskan pula dari eksistensi Indraprahasta dan Wanagiri.

Konon Wanagiri pada masa silam pernah menjadi bawahan Indraprahasta, lebih tepat jika merupakan gabungan dari Indraprahasta dan Wanagiri, mengingat keduanya sudah dikenal dan disebut-sebut pada masa Purnawarman bertahta di Tarumanagara. Indraprahasta pasca Purnawarman dikenal memiliki pasukan yang loyal terhadap Tarumanagara, bahkan berperan penting ketika Wisnuwarman menumpas pemberontakan Cakrawarman. Sedangkan Wanagiri pasca dikuasai Cakrawarman disebut-sebut dijadikan sebagai basis penting dari Cakrawarman. Sayang, referensi tentang Wanagiri sangat kurang dibandingkan kadaton lainnya.

Penyatuan Indraprahasta dengan Wanagiri pasca dibumi hanguskannya Indraprahasta oleh Sanjaya (Maharaja Sunda – Galuh, yang kemudian menjadi raja di Pulau Jawa), karena Indraprahasta dianggap pendukung penting dari kekuatan pasukan Purbasora yang berhasil mengusir Sena, ayah Sanjaya dari tahtanya (selanjutnya baca : pisuna di Galuh).

Kaitan Indraprahasta didalam pemberontakan ini karena raja Padmahariwangsa, raja Indraprahasta mempunyai putri sulung (Citrakirana) dipersunting oleh Purbasora (Galuh). Anak kedua diberinama Wirata, dikemudian hari bertahta sebagai raja Indraprahasta ke-14. Sedangkan putri bungsunya bernama Gangga Kirana dipersunting oleh Adipati Kusala raja Wanagiri, bawahan Indraprahasta. Pasca penghancuran Indraprahasta dan terbunuhnya Purbasora dan Wirata, kemudian Sanjaya mengangkat Kusala sebagai penguasa Indraprahasta dan Wanagiri dan berkedudukan di Wanagiri, ketika itu sudah menjadi bawahan Galuh.


Tentang Cirebon Girang pada periode berikunya disebut-sebut memiliki kaitan dengan keturunan dari Prabu Guru Pangadiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora yang bertahta di Kerajaan Sunda-Galuh (1357 – 1371). Sang Bunisora ketika itu bertindak sebagai pengganti raja setelah kakaknya (Prabu Wangi) gugur di Palagan Bubat.


Sang Bunisora dikenal pula sebagai Pandita Ratu yang memiliki sebutan tinggi keagamaan di jamannya, ia pun sangat toleran terhadap pemeluk agama lainnya, bahkan salah satu putranya, yakni Sang Bratalagawa, putera kedua Sang Bunisora yang usianya dua tahun lebih muda dari sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, disebut sebut sebagai Haji Galuh Pertama dan dikenal dengan sebutan Haji Purwa Galuh.


Sang Bunisora dari permaisuri diantaranya peroleh putera, diantaranya ialah Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya, yang menjadi penguasa Kerajaan Cirebon Girang. Perubahan dari Wanagiri menjadi Carbon Girang setelah Ki Gedeng Kasmaya memiliki anak pertama bernama Ki Gedeng Carbon girang hasil perkawinannya dengan Ratna Kirana Puteri Prabu Gangga Permana. Berakhirnya Keraton Carbon Girang diperkirakan tahun 1445.


Pasca Pangeran Walangsungsang diangkat menjadi Kuwu Carbon II dengan gelar Pangeran Cakrabuwana menggantikan Ki Danusela, maka pada tahun 1447, wilayah carbon Girang disatukan dibawah kekuasaan Kuwu Carbon II. Untuk kemudian pada tahun 1454 ia diangkat oleh Raja Pajajaran (Prabu Silihwangi) untuk menjadi Tumenggung diwilayah tersebut dengan gelar Sri Mangana. Cirebon Girang sekarang hanya tinggal sebuha nama desa yang terletak di Cirebon Selatan.

sumber dari http://akibalangantrang.blospot.com

Menengok Sejarah Perjalanan Haji Tempo Dahulu

Menunaikan ibadah haji wajib hukumnya, bahkan menjadi salah satu rukun Islam bagi madzhab Ahlussunnah dan sebagai kewajiban furu’uddin dalam madzhab Syi’ah. Berbeda dengan kewajiban-kewajiban syari’at lainnya, menunaikan ibadah haji boleh dikatakan merupakan kewajiban terberat dalam Islam.


Orang yang melaksanakan ibadah haji ke tanah suci mengahdapi resiko yang tidak kecil, mulai dari kesengsaraan di perjalanan (khusus jemaah haji Indonesia kesengsaraan itu sudah terasa jauh hari sebelum keberangkatan), hingga ancaman kematian akibat berdesak-desakan dan terinjak-injak oleh sesama jemaah haji saat melakukan ritual haji seperti pernah dialami beberapa tahun yang lalu akibatnya semrawutnya pelayanan haji yang diselenggaran sang “Khadimul Haramain”. Bahkan –lagi-lagi khusus untuk jemaah haji Indonesia- kelaparan.


Itu sekarang ketika semua sarana dan prasarana pelaksanaan jemaah haji sudah sangat modern. Bagaimana dengan jaman dulu, ratusan tahun lalu, saat pesawat terbang belum ada, bahkan kendaraan daratpun baru berupa kuda dan onta ? Dapat kita bayangkan betapa beratnya menunaikan ibadah haji pada jaman itu terutama bagi kaum muslimin yang bertempat tinggal jauh dari tanah suci seperti di Nusantara ini.


Konon, perjalanan menuju Mekah dari daerah-daerah di Nusantara membutuhkan waktu 2 hingga 6 bulan lamanya karena perjalanan hanya dapat ditempuh dengan kapal layar. Bayangkan berapa banyak perbekalan berupa makanan dan pakaian yang harus dipersiapkan para jemaah haji ! Itu pun belum tentu aman. Kafilah haji selalu harus waspada akan kemungkinan para bajak laut dan perompak di sepanjang perjalanan, belum lagi ancaman topan, badai dan penyakit. Tidak jarang ada jemaah haji yang urung sampai di tanah suci karena kehabisan bekal atau terkena sakit. Kebanyakan dari mereka tinggal di negara-negara tempat persinggahan kapal.


Karena beratnya menunaikan ibadah haji, mudah dimengerti bila kaum muslimin yang telah berhasil menjalankan rukun Islam kelima ini kemudian mendapatkan kedudukan tersendiri dan begitu terhormat dalam masyarakat sekembalinya ke negeri asalnya. Merekapun kemudian mendapat gelar “Haji”, sebuah gelar yang umum disandang para hujjaj yang tinggal di negara-negara yang jauh dari Baitullah seperti Indonesia dan Malaysia, tapi gelar ini tidak populer di negara-negara Arab yang dekat dengan tanah suci.

Sejak kapan kaum muslimin Indonesia mulai menunaikan ibadah haji ? Yang jelas kesadaran untuk menunaikan ibadah haji telah tertanam dalam diri setiap muslim Indonesia generasi pertama semenjak para juru da’wah penyebar agama yang datang ke nusantara memperkenalkan agama Islam.


Prof. Dadan Wildan Anas (PR 17 Januari 2006) menyebutkan dalam naskah Carita Parahiyangan dikisahkan bahwa pemeluk agama Islam yang pertama kali di tanah Sunda adalah Bratalegawa putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora penguasa kerajaan Galuh (1357-1371). Ia menjadi raja menggantikan abangnya, Prabu Maharaja (1350-1357) yang gugur dalam perang Bubat yaitu peperangan antara Pajajaran dengan Majapahit.


Bratalegawa memilih hidupnya sebagai seorang saudagar, ia sering melakukan pelayaran ke Sumatra, Cina, India, Srilanka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan ini, Bratalegawa memeluk Islam. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di kerajaan Galuh, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa (Atja, 1981:47).


Setelah menunaikan ibadah haji, Haji Purwa beserta istrinya kembali ke kerajaan Galuh di Ciamis pada tahun 1337 Masehi. Di Galuh ia menemui adiknya, Ratu Banawati, untuk bersilaturahmi sekaligus mengajaknya masuk Islam. Tetapi upayanya itu tidak berhasil. Dari Galuh, Haji Purwa pergi ke Cirebon Girang untuk mengajak kakaknya, Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya yang menjadi penguasa kerajaan Cirebon Girang, untuk memeluk Islam. Namun kakaknya pun menolak.

Naskah kuno selain Carita Parahyangan yang mengisahkan orang-orang jaman dulu yang telah berhasil menunaikan ibadah haji adalah Carita Purwaka Caruban Nagari dan naskah-naskah tradisi Cirebon seperti Wawacan Sunan Gunung Jati, Wawacan Walangsungsang, dan Babad Cirebon. Dalam naskah-naskah tersebut disebutkan adanya tokoh lain yang pernah menunaikan ibadah haji yaitu Raden Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang. Keduanya adalah putra Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran, dan pernah berguru agama Islam kepada Syekh Datuk Kahpi selama tiga tahun di Gunung Amparan Jati Cirebon.


Setelah cukup berguru ilmu agama Islam, atas saran Syekh Datuk Kahpi, Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang berangkat ke Mekah -diduga antara tahun 1446-1447 atau satu abad setelah Bratalegawa- untuk menunaikan ibadah haji dan menambah ilmu agama Islam. Dalam perjalanan ibadah haji itu, Rarasantang dinikahi oleh Syarif Abdullah, Sultan Mesir dari Dinasti Fatimiyah (?), dan berputra dua orang yaitu Syarif Hidayatullah (1448) dan Syarif Arifin (1450). Sebagai seorang haji, Walangsungsang kemudian berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman, sementara Rarasantang berganti nama menjadi Hajjah Syarifah Mudaim.


Sementara dari kesultanan Banten, jemaah haji yang dikirim pertama kali adalah utusan Sultan Ageng Tirtayasa. Ketika itu, Sultan Ageng Tirtayasa berkeinginan memajukan negerinya baik dalam bidang politik diplomasi maupun di bidang pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain (Tjandrasasmita, 1995:117).


Pada tahun 1671 sebelum mengirimkan utusan ke Inggris, Sultan Ageng Tirtayasa mengirimkan putranya, Sultan Abdul Kahar, ke Mekah untuk menemui Sultan Mekah sambil melaksanakan ibadah haji, lalu melanjutkan perjalanan ke Turki. Karena kunjungannya ke Mekah dan menunaikan ibadah haji, Abdul Kahar kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Haji.


Menurut naskah Sajarah Banten diceritakan suatu ketika Sultan Banten berniat mengirimkan utusannya kepada Sultan Mekah. Utusan itu dipimpin oleh Lebe Panji, Tisnajaya, dan Wangsaraja. Perjalanan haji saat itu harus dilakukan dengan perahu layar, yang sangat bergantung pada musim. Biasanya para musafir menumpang pada kapal dagang sehingga terpaksa sering pindah kapal. Perjalanan itu membawa mereka melalui berbagai pelabuhan di nusantara. Dari tanah Jawa terlebih dahulu harus menuju Aceh atau serambi Mekah, pelabuhan terakhir di nusantara yang menuju Mekah. di sana mereka menunggu kapal ke India untuk ke Hadramaut, Yaman, atau langsung ke Jeddah. Perjalanan ini bisa makan waktu enam bulan atau lebih.


Di perjalanan, para musafir berhadapan dengan bermacam-macam bahaya. Musafir yang sampai ke tanah Arab pun belum aman. Pada masa awal perjalanan haji, tidak mengherankan apabila calon jemaah dilepas kepergiannya dengan derai air mata; karena khawatir mereka tidak akan kembali lagi.

Demikian beberapa catatan tentang kaum muslimin Nusantara jaman dulu yang telah berhasil menunaikan ibadah haji. Dari kisah-kisah tersebut nampaknya ibadah haji merupakan ibadah yang hanya terjangkau kaum elit, yaitu kalangan istana atau keluarga kerajaan. Hal ini menunjukkan –pada jaman itu- perjalanan untuk melaksanakan ibadah haji memerlukan biaya yang sangat besar. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya masyarakat kalangan bawah yang juga telah berhasil menunaikan ibadah haji namun tidak tercatat dalam sejarah. Gelar “Haji” memang pantas bagi mereka.


Sekarang perjalanan haji seharusnya tidak sesulit jaman dulu. Sudah selayaknya pemerintah mempermudah perjalanan haji dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya bagi kaum muslimin yang ingin menunaikannya.


Sumber: Kian Santang
di posting dari :http://www.al-shia.org

Sejarah Bendera Indonesia


Warna merah dan putih mempunyai arti yang sangat dalam, sebab kedua warna tersebut tidak begitu saja dipilih dengan cuma–cuma, melainkan melalui proses sejarah yang begitu panjang dalam perkembangan Bangsa Indonesia.


1. Menurut sejarah, Bangsa Indonesia memasuki wilayah Nusantara ketika terjadi perpindahan orang-orang Austronesia sekitar 6000 tahun yang lalu datang ke Indonesia Timur dan Barat melalui tanah Semenanjung dan Philipina. Pada zaman itu manusia memiliki cara penghormatan atau pemujaan terhadap matahari dan bulan. Matahari dianggap sebagai lambang warna merah dan bulan sebagai lambang warna putih. Zaman itu disebut juga zaman Aditya Candra. Aditya berarti matahari dan Candra berarti bulan. Penghormatan dan pemujaan tidak saja di kawasan Nusantara, namun juga di seluruh Kepulauan Austronesia, di Samudra Hindia, dan Pasifik.

Sekitar 4000 tahun yang lalu terjadi perpindahan kedua, yaitu masuknya orang Indonesia kuno dari Asia Tenggara dan kemudian berbaur dengan pendatang yang terlebih dahulu masuk ke Nusantara. Perpaduan dan pembauran inilah yang kemudian melahirkan turunan yang sekarang kita kenal sebagai Bangsa Indonesia.


Pada Zaman itu ada kepercayaan yang memuliakan zat hidup atau zat kesaktian bagi setiap makhluk hidup yaitu getah-getih. Getah-getih yang menjiwai segala apa yang hidup sebagai sumbernya berwarna merah dan putih. Getah tumbuh-tumbuhan berwarna putih dan getih (dalam Bahasa Jawa/Sunda) berarti darah berwarna merah, yaitu zat yang memberikan hidup bagi tumbuh-tumbuhan, manusia, dan hewan. Demikian kepercayaan yang terdapat di Kepulauan Austronesia dan Asia Tenggara.


2. Pada permulaan masehi selama 2 abad, rakyat di Kepulauan Nusantara mempunyai kepandaian membuat ukiran dan pahatan dari kayu, batu, dan lainnya, yang kemudian ditambah dengan kepandaian mendapat pengaruh dari kebudayaan Dong Song dalam membuat alat-alat dari logam terutama dari perunggu dan besi. Salah satu hasil yang terkenal ialah pembuatan gendering besar dari perunggu yang disebut nekara dan tersebar hampir di seluruh Nusantara. Di Pulau Bali gendering ini disebut Nekara Bulan Pajeng yang disimpan dalam pura. Pada nekara tersebut diantaranya terdapat lukisan orang menari dengan hiasan bendera dan umbul-umbul dari bulu burung. Demikian juga di Gunung Kidul sebelah selatan Yogyakarta terdapat kuburan berupa waruga dengan lukisan bendera merah putih berkibar di belakang seorang perwira menunggang kerbau, seperti yang terdapat di kaki Gunung Dompu.


Sejak kapan bangsa-bangsa di dunia mulai memakai bendera sebagai identitas bangsanya? Berdasarkan catatan sejarah dapat dikemukakan bahwa awal mula orang menggunakan bendera dimulai dengan memakai lencana atau emblem, kemudian berkembang menjadi tanda untuk kelompok atau satuan dalam bentuk kulit atau kain yang dapat berkibar dan mudah dilihat dari jauh. Berdasarkan penelitian akan hasil-hasil benda kuno ada petunjuk bahwa Bangsa Mesir telah menggunakan bendera pada kapal-kapalnya, yaitu sebagai batas dari satu wilayah yang telah dikuasainya dan dicatat dalam daftar. Demikian juga Bangsa Cina di zaman kaisar Chou tahun 1122 sebelum masehi.


Bendera itu terikat pada tongkat dan bagian puncaknya terdapat ukiran atau totem, di bawah totem inilah diikatkan sepotong kain yang merupakan dekorasi. Bentuk semacam itu didapati pada kebudayaan kuno yang terdapat di sekitar Laut Tengah. Hal itu diperkuat juga dengan adanya istilah bendera yang terdapat dalam kitab Injil. Bendera bagi raja tampak sangat jelas, sebab pada puncak tiang terdapat sebuah symbol dari kekuasaan dan penguasaan suatu wilayah taklukannya. Ukiran totem yang terdapat pada puncak atau tiang mempunyai arti magis yang ada hubungnnya dengan dewa-dewa. Sifat pokok bendera terbawa hingga sekarang ini.


Pada abad XIX tentara napoleon I dan II juga menggunakan bendera dengan memakai lambang garuda di puncak tiang. Perlu diingat bahwa tidak semua bendera mempunyai arti dan ada hubungannya dengan religi. Bangsa Punisia dan Yunani menggunakan bendera sangat sederhana yaitu untuk kepentingan perang atau menunjukkan kehadiran raja atau opsir, dan juga pejabat tinggi negara. Bendera Yunani umumnya terdiri dari sebuah tiang dengan kayu salib atau lintang yang pada puncaknya terdapat bulatan. Dikenal juga perkataan vaxillum (kain segi empat yang pinggirnya berwarna ungu, merah, atau biru) digantung pada kayu silang di atas tombak atau lembing.


Ada lagi yang dinamakan labarum yang merupakan kain sutra bersulam benang emas dan biasanya khusus dipakai untuk Raja Bangsa Inggris menggunakan bendera sejak abad VIII. Sampai abad pertengahan terdapat bendera yang menarik perhatian yaitu bendera “gunfano” yang dipakai Bangsa Germania, terdiri dari kain bergambar lencana pada ujung tombak, dan dari sinilah lahir bendera Prancis yang bernama “fonfano”.


Bangsa Viking hampir sama dengan itu, tetapi bergambar naga atau burung, dikibarkan sebagai tanda menang atau kalah dalam suatu pertempuran yang sedang berlangsung. Mengenai lambang-lambang yang menyertai bendera banyak juga corak ragamnya, seperti Bangsa Rumania pernah memakai lambang burung dari logam, dan Jerman kemudian memakai lambang burung garuda, sementara Jerman memakai bendera yang bersulam gambar ular naga.


Tata cara pengibaran dan pemasangan bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung, kibaran bendera putih sebagai tanda menyerah (dalam peperangan) dan sebagai tanda damai rupanya pada saat itu sudah dikenal dan etika ini sampai sekarang masih digunakan oleh beberapa Negara di dunia.


3. Pada abad VII di Nusantara ini terdapat beberapa kerajaan. Di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan pulau-pulau lainnya yang pada hakikatnya baru merupakan kerajaan dengan kekuasaan terbatas, satu sama lainnya belum mempunyai kesatuan wilayah. Baru pada abad VIII terdapat kerajaan yang wilayahnya meliputi seluruh Nusantara yaitu Kerajaan Sriwijaya yang berlangsung sampai abad XII. Salah satu peninggalannya adalah Candi Borobudur , dibangun pada tahun 824 Masehi dan pada salah satu dindingnya terdapat “pataka” di atas lukisan dengan tiga orang pengawal membawa bendera merah putih sedang berkibar. Kata dwaja atau pataka sangat lazim digunakan dalam kitab jawa kuno atau kitab Ramayana. Gambar pataka yang terdapat pada Candi Borobuur, oleh seorang pelukis berkebangsaan Jerman dilukiskan dengan warna merah putih. Pada Candi Prambanan di Jawa Tengah juga terdapat lukisan Hanoman terbakar ekornya yang melambangkan warna merah (api) dan warna putih pada bulu badannya. Hanoman = kera berbulu putih. Hal tersebut sebagai peninggalan sejarah di abad X yang telah mengenal warna merah dan putih.


Prabu Erlangga, digambarkan sedang mengendarai burung besar, yaitu Burung Garuda yang juga dikenal sebagau burung merah putih. Denikian juga pada tahun 898 sampai 910 Raja Balitung yang berkuasa untuk pertama kalinya menyebut dirinya sebagai gelar Garuda Muka, maka sejak masa itu warna merah putih maupun lambang Garuda telah mendapat tempat di hati Rakyat Indonesia.


4. Kerajaan Singosari berdiri pada tahun 1222 sampai 1292 setelah Kerajaan Kediri, mengalami kemunduran. Raja Jayakatwang dari Kediri saat melakukan pemberontakan melawan Kerajaan Singosari di bawah tampuk kekuasaan Raja Kertanegara sudah menggunakan bendera merah – putih , tepatnya sekitar tahun 1292. Pada saat itu tentara Singosari sedang dikirim ke Semenanjung Melayu atau Pamelayu. Jayakatwang mengatur siasat mengirimkan tentaranya dengan mengibarkan panji – panji berwarna merah putih dan gamelan kearah selatan Gunung Kawi. Pasukan inilah yang kemudian berhadapan dengan Pasukan Singosari, padahal pasukan Singosari yang terbaik dipusatkan untuk menghadang musuh di sekitar Gunung Penanggungan. Kejadian tersebut ditulis dalam suatu piagam yang lebih dikenal dengan nama Piagam Butak. Butak adalah nama gunung tempat ditemukannya piagam tersebut terletak di sebelah selatan Kota Mojokerto. Pasukan Singosari dipimpin oleh R. Wijaya dan Ardaraja (anak Jayakatwang dan menantu Kertanegara). R. Wijaya memperoleh hadiah sebidang tanah di Desa Tarik, 12 km sebelah timur Mojokerto. Berkibarlah warna merah – putih sebagai bendera pada tahun 1292 dalam Piagam Butak yang kemudian dikenal dengan piagam merah – putih, namun masih terdapat salinannya. Pada buku Paraton ditulis tentang Runtuhnya Singosari serta mulai dibukanya Kerajaan Majapahit dan pada zaman itu pula terjadinya perpaduan antara Ciwaisme dengan Budhisme.


5. Demikian perkembangan selanjutnya pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit, menunjukkan bahwa putri Dara Jingga dan Dara Perak yang dibawa oleh tentara Pamelayu juga mangandung unsur warna merah dan putih (jingga=merah, dan perak=putih). Tempat raja Hayam Wuruk bersemayam, pada waktu itu keratonnya juga disebut sebagai keraton merah – putih, sebab tembok yang melingkari kerajaan itu terdiri dari batu bata merah dan lantainya diplester warna putih. Empu Prapanca pengarang buku Negarakertagama menceritakan tentang digunakannya warna merah – putih pada upacara kebesaran Raja Hayam Wuruk. Kereta pembesar – pembesar yang menghadiri pesta, banyak dihiasi merah – putih, seperti yang dikendarai oleh Putri raja Lasem. Kereta putri Daha digambari buah maja warna merah dengan dasar putih, maka dapat disimpulkan bahwa zaman Majapahit warna merah – putih sudah merupakan warna yang dianggap mulia dan diagungkan. Salah satu peninggalan Majapahit adalah cincin warna merah putih yang menurut ceritanya sabagai penghubung antara Majapahit dengan Mataram sebagai kelanjutan. Dalam Keraton Solo terdapat panji – panji peninggalan Kyai Ageng Tarub turunan Raja Brawijaya yaitu Raja Majapahit terakhir. Panji – panji tersebut berdasar kain putih dan bertuliskan arab jawa yang digaris atasnya warna merah. Hasil penelitian panitia kepujanggaan Yogyakarta berkesimpulan antara lain nama bendera itu adalah Gula Kelapa . dilihat dari warna merah dan putih. Gula warna merah artinya berani, dan kelapa warna putih artinya suci.


6. Di Sumatra Barat menurut sebuah tambo yang telah turun temurun hingga sekarang ini masih sering dikibarkan bendera dengan tiga warna, yaitu hitam mewakili golongan penghulu atau penjaga adat, kuning mewakili golongan alim ulama, sedangkan merah mewakili golongan hulu baling. Ketiga warna itu sebenarnya merupakan peninggalan Kerajaan Minang pada abad XIV yaitu Raja Adityawarman. Juga di Sulawesi di daerah Bone dan Sopeng dahulu dikenal Woromporang yang berwarna putih disertai dua umbul – umbul di kiri dan kanannya. Bendera tersebut tidak hanya berkibar di daratan, tetapi juga di samudera , di atas tiang armada Bugis yang terkenal. Bagi masyarakat Batak terdapat kebudayaan memakai ulos semacam kain yang khusus ditenun dengan motif tersendiri. Nenek moyang orang Batak menganggap ulos sebgai lambang yang akan mendatangkan kesejahteraan jasmani dan rohani serta membawa arti khusus bagi yang menggunakannya. Dalam aliran animisme Batak dikenal dengan kepercayaan monotheisme yang bersifat primitive, bahwa kosmos merupakan kesatuan tritunggal, yaitu benua atas dilambangkan dengan warna merah dan benua bawah dilambangkan dengan warna hitam. Warna warna ketiga itu banyak kita jumpai pada barang-barang yang suci atau pada hiasan-hiasan rumah adat. Demikian pula pada ulos terdapat warna dasar yang tiga tadi yaitu hitam sebagai warna dasar sedangkan merah dan putihnya sebagai motif atau hiasannya. Di beberapa daerah di Nusantara ini terdapat kebiasaan yang hampir sama yaitu kebiasaan memakai selendang sebagai pelengkap pakaian kaum wanita. Ada kalanya pemakaian selendang itu ditentukan pemakaiannya pada setiap ada upacara – upacara, dan sebagian besar dari moti-motifnya berwarna merah dan putih.


7. Ketika terjadi perang Diponegoro pada tahun 1825-1830 di tengah – tengah pasukan Diponegoro yang beribu – ribu juga terlihat kibaran bendera merah – putih, demikian juga di lereng – lereng gunung dan desa – desa yang dikuasai Pangeran Diponegoro banyak terlihat kibaran bendera merah – putih. Ibarat gelombang samudera yang tak kunjung reda perjuangan Rakyat Indonesia sejak zaman Sriwijaya, Majapahit, putra – putra Indonesia yang dipimpin Sultan Agung dari Mataram, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, Sultan Hasanudin, Sisingamangaraja, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, Pangeran Antasari, Pattimura, Diponegoro dan banyak lagi putra Indonesia yang berjuang untuk mempertahankan kedaulatan bangsa, sekalipun pihak penjajah dan kekuatan asing lainnya berusaha menindasnya, namun semangat kebangsaan tidak terpadamkan.


Pada abad XX perjuangan Bangsa Indonesia makin terarah dan menyadari akan adanya persatuan dan kesatuan perjuangan menentang kekuatan asing, kesadaran berbangsa dan bernegara mulai menyatu dengan timbulnya gerakan kebangsaan Budi Utomo pada 1908 sebagai salah satu tonggak sejarah.


Kemudian pada tahun 1922 di Yogyakarta berdiri sebuah perguruan nasional Taman Siswa dibawah pimpinan Suwardi Suryaningrat. Perguruan itu telah mengibarkan bendera merah putih dengan latar dasar warna hijau yang tercantum dalam salah satu lagu antara lain : Dari Barat Sampai ke Timur, Pulau-pulau Indonesia, Nama Kamu Sangatlah Mashur Dilingkungi Merah-putih. Itulah makna bendera yang dikibarkan Perguruan Taman Siswa.


Ketika terjadi perang di Aceh, pejuang – pejuang Aceh telah menggunakan bendera perang berupa umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan bintang serta beberapa ayat suci Al Quran.


Para mahasiswa yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia yang berada di Negeri Belanda pada 1922 juga telah mengibarkan bendera merah – putih yang di tengahnya bergambar kepala kerbau, pada kulit buku yang berjudul Indonesia Merdeka. Buku ini membawa pengaruh bangkitnya semangat kebangsaan untuk mencapai Indonesia Merdeka.


Demikian seterusnya pada tahun 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia dibawah pimpinan Ir. Soekarno yang bertujuan mencapai kemerdekaan bagi Bangsa Indonesia. Partai tersebut mengibarkan bendera merah putih yang di tengahnya bergambar banteng.


Kongres Pemuda pada tahun 1928 merupakan detik yang sangat bersejarah dengan lahirnya “Sumpah Pemuda”. Satu keputusan sejarah yang sangat berani dan tepat, karena kekuatan penjajah pada waktu itu selalu menindas segala kegiatan yang bersifat kebangsaan. Sumpah Pemuda tersebut adalah tidak lain merupakan tekad untuk bersatu, karena persatuan Indonesia merupakan pendorong ke arah tercapainya kemerdekaan. Semangat persatuan tergambar jelas dalam “Poetoesan Congres Pemoeda – Pemoeda Indonesia” yang berbunyi :


Pertama : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE

BERTOEMPAH DARAH YANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA

Kedua : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE

BERBANGSA YANG SATOE, BANGSA INDONESIA

Ketiga : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA

MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA

INDONESIA



Pada kongres tersebut untuk pertama kalinya digunakan hiasan merah – putih tanpa gambar atau tulisan, sebagai warna bendera kebangsaan dan untuk pertama kalinya pula diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya.


Pada saat kongres pemuda berlangsung, suasana merah – putih telah berkibar di dada peserta, yang dibuktikan dengan panitia kongres mengenakan “kokarde” (semacam tanda panitia) dengan warna merah putih yang dipasang di dada kiri. Demikian juga pada anggota padvinder atau pandu yang ikut aktif dalam kongres menggunakan dasi berwarna merah – putih. Kegiatan pandu, suatu organisasi kepanduan yang bersifat nasional dan menunjukkan identitas kebangsaan dengan menggunakan dasi dan bendera merah – putih.


Perlu disadari bahwa Polisi Belanda (PID) termasuk Van der Plass tokohnya sangat ketat memperhatikan gerak – gerik peserta kongres, sehingga panitia sangat berhati-hati serta membatasi diri demi kelangsungan kongres. Suasana merah putih yang dibuat para pandu menyebabkan pemerintah penjajah melarang dilangsungkannya pawai pandu, khawatir pawai bisa berubah menjadi semacam penggalangan kekuatan massa.


Pengibaran Bendera Merah-putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya dilarang pada masa pendudukan Jepang, karena ia mengetahui pasti bahwa hal tersebut dapat membangkitkan semangat kebangsaan yang nantinya menuju pada kemerdekaan. Kemudian pada tahun 1944 lagu Indonesia Raya dan Bendera Merah-putih diizinkan untuk berkibar lagi setelah kedudukan Jepang terdesak. Bahkan pada waktu itu pula dibentuk panitia yang bertugas menyelidiki lagu kebangsaan serta arti dan ukuran bendera merah-putih.


Detik-detik yang sangat bersejarah adalah lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Setelah pembacaan teks proklamasi, baru dikibarkan bendera merah-putih, yang kemudian disahkan pada 18 Agustus 1945. Bendera yang dikibarkan tersebut kemudian ditetapkan dengan nama Sang Saka Merah Putih.


Kemudian pada 29 September 1950 berkibarlah Sang Merah Putih di depan Gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan Bangsa Indonesia oleh badan dunia.


Bendera merah-putih mempunyai persamaan dengan bendera Kerajaan Monako, yaitu sebuah Negara kecil di bagian selatan Prancis, tapi masih ada perbedaannya. Bendera Kerajaan Monako di bagian tengah terdapat lambang kerajaan dan ukurannya dengan perbandingan 2,5 : 3, sedangkan bendera merah putih dengan perbandingan 2 : 3 (lebar 2 meter, panjang 3 meter) sesuai Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1958. Kerajaan Monako menggunakan bendera bukan sebagai lambang tertinggi karena merupakan sebuah kerajaan, sedangkan bagi Indonesia bendera merah putih merupakan lambang
tertinggi.


Sumber: http://www.gamexeon.com

Sejarah Acuan Berdirinya Kabupaten Cirebon

Ada perbedaan mendasar mengenai Hari Jadi anatara Kabupaten Cirebon dengan Kota Cirebon. Kota Cirebon membuat acuan berdirinya Cirebon tanggal I Muharrom, saat Cakra Buwana membuka Dukuh Tegal Alang-Alang. Sedangkan Kabupaten Cirebon mengacu pada deklaeasi Pemisahan Diri Cirebon dari Pajajaran, yakni tanggal 12 Shofar 887 H atau 2 April 1482 M.


Sejarah Cirebon menurut berbagai pihak di Cirebon adalah berarti sejarah Indonesia dan sejarah umat Islam. Setidaknya itu adalah anggapan Tim Pemurnian Sejarah Cirebon, seperti yang diungkapkan Kartani dan Kaenudin. Menurut mereka Belanda di Cirebon tidak hanya merusak Aqidah Islam tapi juga sejarah Islam di Cirebon. Menurut Prof. A. Hasjmy, sejarah umat Islam dan Indonesia telah diputarbalik oleh Belanda dan musuh-musuh Islam, begitu juga pendapat H. Alamsyah Ratu Prawiranegara tahun 1981. Sehingga Prof. Mr. MM Djojodigoeno menekankan penting penyelidikan sejarah dilakukan oleh bangsa sendiri untuk mendapatkan obyektifitas.

Khusus masalah sejarah Cirebon, Tim pemurnian Sejarah Cirebon dalam suratnya bernomor 01/TPSC/IX/2005 yang ditujukan pada para pimpinan daerah dan para tokoh Cirebon menyatakan bahwa sejarah Cirebon telah dimanipulasi oleh bangsa sendiri (Wong Cherbon), yang mengakibatkan terjadinya sejarah peteng (gelap). Anggota tim ini antara lain Ki Kuwu Abadi, Ketua Forum Komunikasi Kuwu Bersatu Kabupaten Cirebon, Ki Kartani sejarawan Cirebon, Drs. R. Udin Kaenudin, Msi yang menyatakan diri keturunan pendiri Cirebon (P. Cakrabuana), Pangeran Makmur S.Sos, Sesepuh Martasinga Wargi Kasultanan Cirebon dan Ahmad Jazuli dari LSM Tunas Nusantara.


Dari sumber literatur dalam negeri, disebutkan pada hari Jum’at kliwon tanggal 14 Kresna Paksa Cetra Masa 1367 Saka diperkirakan tahun 1445 Masehi, Pangeran Walangsungsang Putra Raja Pajajaran Sri Beduga Maha Raja atau Prabu Siliwangi, mulai membuka hutan bersama 52 orang penduduk dipesisir utara Jawa. Tempat itu kemudian disebut dukuh Tegal Alang-alang yang makin lama menjadi ramai, sehingga karena adanya interaksi sosial yang tinggi, datanglah para pedagang dan orang-orang untuk menetap, bertani dan menjadi nelayan.


Dukuh Tegal Alang-alang kemudian diberi nama Desa Caruban karena penduduknya dari berbagai suku bangsa, Caruban berarti campuran. Sumber-sumber Barat yang monumental seperti catatan Tome Pires (Portugis) menyebut Cirebon dengan Corobam, dalam catatannya Pires mengatakan Corobam adalah pelabuhan yang ramai dikunjungi saudagar-saudagar besar dan sentra perdagangan yang merupakan bagian wilayah Kerajaan Sunda. Sumber-sumber Belanda menyebutnya Charabaon (Rouffaer) Cheribon atau Tjerbon (Kern). Dan dari sumber lokal didapat penyebutan Sarumban, Carbon, Caruban, Cherbon bahkan Grage.


Masyarakat kemudian memilih Ki Danusela yang disebut Ki Gedeng Alang-alang selaku penguasa Tegal Alang-alang sebagai Kuwu Carbon I, sedangkan Pangeran Walangsungsang sebagai Pangraksa Bumi dengan gelar Ki Cakra Bumi. Pada tahun 1447 Ki Danusela meninggal dan Ki Cakra Bumi dipilih masyarakat untuk menggantikannya sebagai Kuwu Carbon II dengan sebutan Pangeran Cakra Buwana. Sebelum membuka Dukuh Tegal Alang-alang Pangeran Walangsungsang dan para pengikutnya telah lebih dulu masuk Islam.


Oleh karena itu perlu juga dikemukakan beberapa masalah sebelumnya yakni, beberapa kerajaan dan Keraton yang pernah ada di wilayah Cirebon. Beberapa Kerajaan dan keraton itu antara lain, Kerajaan Indraprahasta, Keraton Carbon Girang, Keraton Singapura, Keraton Japura dan Keadipatian Palimanan dibawah Pemerintahan Keraton Rajagaluh.


1. Kerajaan Indraprahasta


Diperkirakan berdiri tahun 363 – 723 Masehi, lokasi keratonnya meliputi Desa Sarwadadi Kecamatan Sumber (sekarang). Wilayahnya meliputi Cimandung, Kerandon Cirebon Girang di Kecamatan Cirebon Selatan. Raja pertamanya Resi Santanu dari lembah Sungai Gangga, datang ke pulau Jawa sebagai pelarian setelah kalah perang melawan Dinasti Samudra Gupta dari kerajaan Magada.


Resi Santanu menikahi Dewi Indari putri bungsu Rani Spati Karnawa Warman Dewi, Raja Slakanagara yang ibukota kerajaannya di Rajatapura, Pandeglang sekarang. Wilayah kerajaan Indraprahasta diperkirakan sebelah Barat Cipunegara, sebelah Timur sungai Cipamali, sebelah Utara Laut Jawa, sebelah Selatan tidak ada catatan yang jelas.


Raja-raja yang pernah berkuasa adalah :


1. Prabu Resi Santanu Indraswara Sakala Kreta Buwana, memerintah tahun 363 – 398 M
2. Prabu Resi Jayasatyanegara ( 398 – 421 )
3. Prabu Resi Wiryabanyu, mertua dari Prabu Wisnuwarman ( 421 – 444 )
4. Prabu Wama Dewaji ( 444 – 471 )
5. Prabu Wama Hariwangsa ( 471 – 507 )
6. Prabu Tirta Manggala Dhanna Giriswara ( 507 – 526 )
7. Prabu Asta Dewa ( 526 – 540 )
8. Prabu Senapati Jayanagranagara ( 540 – 546 )
9. Prabu Resi Dharmayasa( 546 – 590 ), masa lahirnya Nabi Muhammad SAW. Tahun 571 M
10. Prabu Andabuwana, ( 590 – 636) menjelang berakhir masa kekuasaannya Nabi Muhammad SAW. Wafat, sekitar tahun 632 M.
11. Prabu Wisnu Murti ( 636– 661 ), Tentara Islam sudah membebaskan wilayah Palestina, Syiria, Irak, Mesir dan jauh sebelumnya Yaman sudah dalam kekuasaan Islam sejak menjelang wafatnya Nabi Muhammad SAW.
12. Prabu Tunggul Nagara ( 661 – 707 ), pada masa itu ekspedisi-ekspedisi damai Islam sudah sampai di Asia Tenggara khususnya Indonesia dan sampai ke China. TW. Arnold mengidentifikasikan Islam masuk ke Indonesia tahun 674 M.
13. Prabu Resi Padma Hari Wangsa ( 707 – 719 ), pada masanya Kekhalifahan Bani Umayah terus menerus mengirimkan ekspedisi-ekspedisi dagang dan dakwah ke negeri-negeri timur, yakni China dan sekitarnya termasuk ke Indonesia khususnya Sumatera dan Jawa waktu itu juga sudah terkenal.
14. Prabu Wiratara ( 719 – 723 ), pada masa itu kekuasaan Islam dari segi geografis telah menjadi super state dan dari keunggulan militer telah menjadi super power. Lembaga pendidikan telah maju, jauh meninggalkan Eropa dibawah peradaban Romawi dan Yunani.
Kerajaan Indraprahasta berakhir pada saat pemerintahan Pabu Wiratara yang dikalahkan Raja Sanjaya Harisdharma dari Kerajaan Mataram di Jawa Tengah.


2. Keraton Carbon Girang


Keraton Carbon Girang berasal dari keraton Wanagiri, setelah runtuhnya Indraprahasta yang didirikan oleh Ki Ghedeng Kasmaya. Perubahan dari Wanagiri menjadi Carbon Girang setelah Ki Ghedeng Kasmaya memiliki anak pertama bernama Ki Ghedeng Carbon girang hasil perkawinannya dengan Ratna Kirana Puteri Prabu Gangga Permana.

Keraton Carbon Girang antara lain diperintah oleh :
1. Ratu Dewata yang juga disebut Ki Ghedeng Kasmaya.
2. Ki Ghedeng Carbon Girang Berakhirnya Keraton Carbon Girang diperkirakan tahun 1445. Kemudian setelah Pangeran Walangsungsang diangkat menjadi Kuwu Carbon II dengan gelar Pangeran Cakrabuwana menggantikan Ki Danusela, tahun 1447, wilayah carbon Girang disatukan dibawah kekuasaan Kuwu Carbon II, pada tahun 1454 diangkat oleh Raja Pajajaran menjadi Tumenggung dengan gelar Sri Mangana.

3. Keraton Singapura
Singapura merupakan sebuah pemerintahan bawahan Galuh yang sejajar dengan Keraton Carbon Girang. Letak Keraton Singapura sekira empat kilometer utara Giri Amparan Jati (makam Sunan Gunung Jati sekarang), batas dan luas tidak jelas, tetapi ada perkiraan sebagai berikut ;


Sebelah Utara berbatasan dengan Surantaka,
Sebelah Barat berbatasan dengan Carbon Girang,
Sebelah Selatan berbatasan dengan Keraton Japura,
Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Jawa Teluk Cirebon.


Pemimpin yang dikenal antara lain Surawijaya Sakti dan yang terakhir Ki Ghedeng Tapa atau Ki Jumajan Jati. Pada masa pemerintahan Ki Ghedeng Tapa itulah dibangun Mercusuar yang pertama oleh Laksamana Te Ho tahun 1415 Masehi. Mercusuar tersebut menjadi awal kebangkitan kegemilangan Pelabuhan Cirebon. Singapura telah berdiri sebelum Prabu Siliwangi naik tahta pada tahun 1428.


4. Keraton Japura
Japura berasal dari kata ” Gajahpura” berarti gerbang masuk keraton yang berlambang gajah. Keraton Japura adalah ibukota kerajaan Medang Kamulan di sebelah Timur Cirebon, pusat pemerintahan meliputi Desa Japura Kidul, Japura Lor dan Desa Astana Japura di Kecamatan Astana Japura, batas-batasnya meliputi ;
Sebelah Utara Laut Jawa,
Sebelah Selatan Desa Cibogo dan Desa Jatipiring,
Sebelah Barat Desa Mundu Pesisir dan Desa Suci,
Sebelah Timur Desa Gebang
Pemimpinnya yang terkenal adalah Amuk Marugul Sakti Mandra Guna.


5. Keadipatian Palimanan
Keadipatian Palimanan dibawah pemerintahan Raja Galuh, dipimpin oleh seorang Adipati bernama Arya Kiban. Pusat Keadipatian terletak di Pegunungan Kapur Gunung Kromong Kecamatan Palimanan sekarang, yang lebih dikenal dengan sebutan Banyu Panas, saat itu wilayahnya meliputi Kecamatan Ciwaringin dan Kecamatan Susukan. Masa Keadipatian berlangsung hingga tahun 1528, pada saat pecahnya perang terakhir di Gunung Gundul antara Palimanan melawan Carbon.


Hampir terjadi peperangan antara Kerajaan Galuh yang beribukota di Galuh Pakuan melawan Pakuan Pajajaran. Pada perundingan diplomatik para tokoh kedua Kerajaan ditunjuklah Jaya Dewata, putra Prabu Dewa Niskala dari Galuh sebagai penengah dan penyelamatan dua tahta, pada tahun 1482 Jaya Dewata menerima Tahta Galuh dari ayahandanya Prabu Dewa Niskala dan dari mertuanya yaitu Prabu Susuk Tunggal menerima tahta Pakuan Pajajaran. Sebagai penguasa dua Kerajaan Jaya Dewata berhak menyandang gelar Sri Baduga Maha Raja, masyarakat Jawa Barat memberi gelar kepadanya Prabu Siliwangi yang berarti Raja pengganti Prabu Wangi, Keratonnya disebut Keraton Pakuan Pajajaran.


Prabu siliwangi menikah dengan Nyai Subang Larang tahun 1422, dari istrinya ini memiliki 3 orang anak yaitu Pangeran Walangsungsang lahir 1423, Nyai Lara Santang lahir 1426 dan Raja Sangara lahir tahun 1428 M, ketiganya kelak masuk Islam dan Pangeran Walangsungsang kemudian mendirikan Cirebon dan diikuti kedua adiknya itu.


Tahun 1442 M, Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang meninggalkan Keraton Pajajaran untuk berguru Agama Islam ke Daerah Timur, yakni Gunung Amparan Jati tempat dakwahnya Syekh Nur Jati atau Datuk Kahfi yang berasal dari Parsi.


Atas petuah Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang kemudian berangkat Naik Haji ke Mekkah. Hal itu terjadi setelah membuka Cirebon. Mereka tidak langsung pulang, Nyai Lara Santang kemudian menikah dengan penguasa Mesir yaitu Syarif Abdullah. Dari pernikahan ini mendapat dua orang putra yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.


Sepulang naik haji, Pangeran Walangsungsang atau Cakrabuana selain mendirikan Mesjid juga sebuah rumah besar untuk ditempati bersama putrinya yang bernama Nyai Pakung Wati, dari perkawinannya dengan Nyai Endang Geulis.


Setelah Ki Jumajan Jati, Kakek Pangeran Cakrabuwana meninggal Keratuan Singapura vakum, harta kekayaannya kemudian dibawa ke Carbon untuk membangun Keraton Pakung Wati dan membentuk Prajurit yang disebut Dalem Agung Nyai Mas Pakung wati.


Tahun 1470, Syarif Hidayatullah datang ke Pulau Jawa, mulanya ke Banten, kemudian ke Jawa Timur untuk mengikuti musyawarah dengan para Mubaligh yang dipimpin oleh Sunan Ampel. Musyawarah melahirkan pembentukan Dewan Wali Sanga, suatu lembaga kepemimpinan presidium penyebaran Islam di tanah Jawa. Hasil musyawarah menetapkan Syarif Hidayatullah sebagai penanggung jawab dakwah Islam di Jawa Barat dengan pusat penyebaran Carbon.


Untuk itu Syekh Syarif Hidayatullah menemui Uwaknya yaitu Pangeran Cakrabuwana Kuwu Carbon II yang sudah menjadi Tumenggung dengan gelar Sri Mangana. Bersama beliau Syekh Syarif Hidayatullah membuat basis penyebaran yakni Padepokan Pekikiran di Gunung Sembung. Dakwah dilancarkan ke daerah Luragung, Palimanan dan Kuningan.


Sunan ampel Wafat tahun 1478 M, Syarif Hidayatullah ditunjuk sebagai penggantinya. Selanjutnya pusat penyiaran Islam di tanah Jawa dipindahkan dari Tuban ke Gunung Sembung di Carbon yang kemudian disebut Puser Bumi. Pusat pemerintahan di Pakung Wati yang ibu kotanya disebut Grage. Saat itu pula dibangun Mesjid agung Sang Cipta Rasa.


Pada tahun 1482 M, Syarif Hidayatullah sebagai Sultan Carbon I membuat pernyataan kepada Maha Raja Pakuan Pajajaran Sri Baduga Maha Raja Prabu Siliwangi, bahwa Kasultanan Carbon adalah sebuah negara merdeka. Peristiwa tersebut terjadi pada Dwa Daksi Sukla Paksa Cetra Masa Sahasra Patang Atus Papat Ikang Sakakala (12 Cetra masa 1404 Saka) bertepatan dengan tanggal 12 Shafar 887 Hijriyah, menurut Ki Kartani tahun 888 Hijriyah atau 2 April 1482 M jatuh pada hari Kamis.


Menurut sejarawan Cirebon, alasan yang mendorong Syarif Hidayatullah melakukan tindakan itu antara lain :


1. Pindahnya ibukota kerajaan yang membawahi Carbon dari Galuh Pakuan (Kawali) ke Pakuan Pajajaran (Bogor), maka jarak Carbon menjadi jauh.
2. Syarif Hidayatullah telah mendapat mandat dari Dewan Wali Sanga untuk menyebarkan Islam di Tatar Jawa bagian Barat (sunda).
3. Carbon mendapat dukungan tentara Demak berdasarkan perjanjian persahabatan dan dalam musyawarah Wali Sanga, terlebih setelah Sunan Ampel Wafat.


Dilihat dari alasan diatas, alasan kedualah yang paling kuat, karena dakwah tidak akan berhasil tanpa kekuatan politik, padahal itu takkan didapat dari Pakuan Pajajaran yang Hindu. Dan untuk itu Syarif Hidayatullah berani menempuh resiko apapun.


Jelas ini merupakan tamparan keras bagi Prabu Jaya Dewata yang baru saja dinobatkan menjadi Raja Pakuan Pajajaran dengan gelar Sri Baduga Maha Raja atau Prabu Siliwangi. Perhitungan Moral sebagai cucu kepada kakek dikesampingkan untuk menegakkan kebenaran yang diyakini, yakni Islam.